ULTRAS IN INDONESIA
23.39Warna Persebaya Surabaya adalah hijau. Tak pernah berubah. Dari dulu hingga sekarang. Tapi, dalam beberapa tahun belakangan selalu ada warna lain di tribun Gelora 10 November Surabaya. Begitupula di stadion anyar Surabaya : Gelora Bung Tomo. Selalu ada biru diantara hijau. Pemandangan yang ganjil. Perpaduan yang tak lazim. Bukankah biru merupakan warna kebesaran Arema Malang-tim yang selalu berada di seberang mata dan hati pendukung Persebaya, Bonek. Argumentasi yang mudah dipatahkan memang. Sebab, warna biru yang menyembul di Gelora 10 November maupun Gelora Bung Karno bukan seragam Arema. Tidakpula atribut Aremania-suporter Arema. Tapi, biru yang menjadi atribut Bobotoh-pendukung Persib Bandung. Kendati begitu, menyeruaknya warna biru itu sulit dinalar. Karena, sekali lagi, warna Persebaya adalah hijau. Warna lain seperti itu tak hanya di Surabaya. Di Stadion Kanjuruhan, Malang pun serupa. Setiap kali Arema bermain di stadion yang terletak Malang bagian selatan tersebut, selalu ada warna oranye di tribun. Juga di jalanan menuju stadion. Oranye yang merupakan warna Persija Jakarta saat ini (seragam terdahulu Persija adalah merah bata). Tak sekedar warna, tapi juga nama. Nyaris di seluruh laga Arema-bukan saja di Kanjuruhan-tidak sedikit Aremania yang membentang syal yang tak hanya tertulis nama tim kebanggaannya. Namun, syal yang menyandingkan nama Arema dan Persija. Padanan warna dan nama yang tentu saja terasa aneh. Dan keganjilan itu tidak hanya di Surabaya-Malang. Warna lain tersebut menjamur dimana-mana. Sebut saja Lamongan, Sidoarjo, Kediri, atau Bojonegoro. Setiap ada pertandingan di stadion kota-kota tersebut, selalu menyeruak warna dan simbol di luar tim kebanggaan suporter setempat. Kebiasaan yang sama itu menjalar ke dataran Jawa lainnya. Bandung dan Jakarta misalnya. Senantiasa ada hijau-warna Persebaya-di tengah lautan biru saat Persib berlaga. Bukan saja di Stadion Siliwangi, Bandung, tapi juga di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang. Jakarta tak berbeda. Warna biru-identitas Arema-nyaris tidak pernah ketinggalan bergumul dengan warna oranye ketika Persija bertanding. Aneh dan tentu saja sulit dinalar. Apalagi, kemunculan warna lain itu di tengah-tengah suporter yang kini begitu fanatik terhadap kesebelasannya. Bahkan, juga di saat ada yang menyombongkan diri bahwa sepak bola adalah agama keduanya. Tapi, justru di tengah fanatisme dan penyombongan diri itulah mereka ternyata tak mampu memaknai kesucian warna dan atribut klubnya. Para suporter justru melenggang santai ke stadion dengan seragam tim lainnya. Mereka juga begitu bersemangat membentangkan tinggi-tinggi syal bertulis klub lain. Entah apa yang ada di hati mereka. Yang jelas sulit menakarnya. Seperti halnya yang terjadi di Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 30 Mei 2010 silam. Seperti tanpa dosa, ribuan suporter Persija turut larut dalam suka cita Aremania yang merayakan gelar juara yang direbut Arema. Padahal, ketika itu Singo Edan-julukan Arema-mempermalukan Persija dengan skor yang sangat-sangat mencolok 5-1. Atau laku yang dijalankan Bobotoh selama ini. Mereka seperti menanggalkan sejarah tim kebanggaannya. Mereka alpa bahwa Persib pernah dilukai Persebaya pada kompetisi 1987/1988. Untuk memuluskan langkah meraih makhota juara, Persebaya sengaja bermain imbang 1-1 dengan Persija. Strategi itu dipilih untuk menyingkirkan Persib. Hasil seri itu agar Maung Bandung-julukan Persib-tidak lolos ke semifinal. Bagi Persebaya, Persib harus disingkirikan karena merupakan sandungan terbesar merebut juara. ”Kalau sampai kami bertemu Persib di final berarti bagi kami juara. Secara materi mereka sangat bagus dan secara geografis juga lebih dekat ke Jakarta sehingga bakal didukung lebih banyak suporternya,” cerita Mustaqim, striker Persebaya kala itu. Pilihannya Persib harus dihentikan tanpa harus melawannya. Strategi itu akhirnya mengantarkan Persebaya ke podium juara. Dan kini Bobotoh lupa akan rasa sakit itu. Naif memang fenomena warna lain ini. Apalagi, warna lain ini juga menyuburkan permusuhan. Mereka yang tak pernah bersinggungan justru kini dengan ringan saling melepaskan caci-maki. Juga dengan mudah saling melukai, bahkan menghilangkan nyawa yang lainnya. Mereka melupakan orientasinya : bahwa suporter ada, suporter lahir untuk memberi dukungan kepada tim kesayangannya. Tidak lebih. Suporter bukan partai politik. Jadi tak sepantasnya berkoalisi.
0 komentar